Sabtu, 01 Maret 2008

Pilihan Hidup


Hari ini saya membuat pilihan-pilihan yang penuh kasih untuk saya sendiri dan menerima kebaikan dalam hidup saya.
Membuat pilihan yang tidak sesuai biasanya berasal dari harga diri yang rendah dan percaya bahwa kita tidak layak menerima yang terbaik untuk diri kita sendiri. Mempercayai bahwa kita layak menerima sesuatu yang kurang Dari yang terbaik adalah suatu kebohongan rohani, karena hak asasi, kita adalah menjalani kehidupan yang makmur.
Louise hay menggunakan metapora yang sangat bagus untuk menunjukkan bagaimana kita membatasi kelimpahan yang tersedia bagi kita. Jika kita pergi ke samudra untuk memperoleh air, ember ukuran berapa yang kita bawa? Apakah itu ember kecil, besar_ berapa besar ember itu?? Tidak ada batasan jumlah air yang dapat kita ambil tetapi kita mungkin menentukan sendiri kendala-kendala pada diri kita sendiri karena masa lampau kita yang membuat kita terus menerus berfikir kecil.
Kita dapat mengganti kebiasaan-kebiasaan lama dengan tindakan-tindakan baru yang membangun harga diri. Dan satu cara untuk melakukan hal ini adalah bertindak seolah-olah kita layak menerima yang terbaik untuk diri kita sendiri.
Akhirnya jika kita memelihara hal itu, kebiiasaan-kebiasaan lama akan kehilangan pegangannya pada waktu tindakan-tindakan baru mengambil alih, dan kita akan mempercayainya bahwa kita layak menerima yang terbaik.

Mari Memungut Kerikil...



Dua orang berjalan bersama di sebuah jalan. Kecepatan sama. Tujuan sama. Wujud dan fisik serupa. Kemudian di tengah jalan ada kerikil 2x yang mengganggu. Orang satu diam saja, seraya menghindari tumpukan kerikil dan melanjutkan langkahnya, merasa bukan hambatan berat bagi perjalanannya. Orang kedua, rela menunda langkah, dan memunguti kerikil2x tersebut, dan melanjutkan sedikit telat dibelakang orang pertama. Mereka hampir bersamaan sampai di tujuan. Apakah yang membedakan mereka?Hari berikutnya terulang kembali, namun tumpukan kerikil lebih banyak. Kali ini orang pertama harus melompatinya. Orang kedua, sekali lagi menunda untuk memungut Seluruh kerikil, hingga jalanan bersih, dan dengan tas penuh dia terlambat sampai di tujuan. Akhirnya, keduanya sampai pada tempat tujuannya yang samaEntah dari mana datang kerikil2x tersebut.

Berbulan2x mereka melewati jalan tersebut, tiap kali kerikil yang menghalangi semakin banyak. HIngga suatu saat kerikil sudah sebesar bukit, dan mereka berdua harus mendaki bukit kerikil tersebut untuk melanjutkan perjalanan mereka. Saat di puncak orang pertama langsung turun berlari melanjutkan perjalanan, orang kedua menyempatkan diri memenuhi ranselnya untuk mengambil beberapa kerikil, sakpol kemampuannya. Seperti biasa, mereka berdua sampai di tempat tujuannya.

Tahun-tahun pun berlalu. Mereka mengarungi perjalanan yang sama, berjuang bersama, dalam rutinitas yang sama tiap hari, melewati jalan itu.Pada tahun yang sama pula, masing-masing dari mereka berdua sudah berkeluarga, dengan anak yang sama, jumlah yang sama,jumlah istri yang sama, pokoknya mirip semua. Kali ini 2 keluarga tersebut, entah apa sebabnya, harus melewati jalan perjuangan mereka. Mereka semua berjalan bersama, dua keluarga, kecepatan sama. Hingga kedua rombongan terhenti.Kerikil yang menghalangi jalan sudah sebesar gunung. Orang pertama berhasil melewati gunung kerikil tersebut, namun keluarganya tidak ikut bersamanya. Setahun kemudian, menyusul Keluarga kedua, sampai di tujuan. Disana orang pertama masih duduk, menunggu kedatangan keluarganya.

Ketika sampai ditujuan akhir Kepala keluarga Pemungut Kerikil bertanya kepada Kepala Keluarga Pertama "Mana anak dan istrimu?'. Orang pertama (yang tidak pernah memungut kerikil) menjawab, "Hanya saya yang sampai, mewakili keluarga, anak istri saya belum mampu melewati gunung tersebut. Nah, kamu sekeluarga kok bisa sampai selamat semua disini?" dia balik bertanya.Orang Kedua menjawab "Saat dirumah saya ajari anak istri saya untuk memungut kerikil yang mengganggu di tengah jalan. Saat keluargamu bersusah payah mendaki gunung, separuh gunung kerikil tersebut kami punguti dan pindahkan perlahan, sekarung demi sekarung hingga kami bisa lewati bersama. Sayang, istri dan anak-anak mu terlalu lelah untuk mendaki ke puncak, dan mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan, tidak seperti kamu pintar sendiri, dan kuat sendiri, berjuang sendiri; namun kau lupakan keluarga dan generasi setelahmu.

"Orang kedua menambahkan "Kau wariskan segunung hambatan bagi anak-anak mu"!!!