Cinta mungkin adalah sebuah sisi temporal dari kehidupan manusia, tetapi cinta adalah dimensi yang terdalam dan paling universal dari sejarah peradaban manusia. Tidak ada orang yang mampu memenuhi seluruh rongga sejarahnya dengan cinta atau menyusun detik demi detik kehidupannya dalam cinta. Tetapi setiap kata yang dikeluarkan dari bibir yang paling ragupun dapat saja berakhir dengan cinta.
Membicarakan cinta sama saja membicarakan tentang kematian. Diantara cinta dan kematian itulah berlangsung dialektika-dialektika kesedihan dan metafora-metafora airmata. Dan diatasnya kehidupan diberi nama, diberi tanda, dan diberi kisah.
Membicarakan cinta maka sama saja menelusuri belukar kisah, kisah-kisah peradaban yang terputus-putus dalam sebuah tali rajutan tua yang tidak pernah berhenti diberi kata dan warna. Meski dalam banyak aspek, cinta selalu menitipkan sejarah dan warna, dan pada banyak sisi, menyisipkan kata-kata yang lebih muda dihayati daripada dijelaskan.
Membicarakan cinta, selalu sama saja menjelaskan luka dan derita. Luka dan kisah yang membuntuti seperti kenangan yang selalu kembali disetiap musim atau pada ruang-ruang yang terlanjur diberi tanda dengan cinta.
Membicarakan cinta, tak berbeda dengan menyanyikan lagu kesepian dari irama yang paling senyap.
Membicarakan cinta, tidak bukan dari menerjemahkan teka teki yang penuh dengan defenisi yang ambisius, penuh dendam dan penuh ketidakpercayaan. Tetapi sekaligus diyakini, dikasihi, dan terikhlaskan.
Membicarakan cinta, tak lebih bertutur dengan puisi, berkisah dalam prosa, dan membahasakan filsafat dan novel-novel kehidupan. Sosiologi dan psikologi yang ragu-ragu.
Membicarakan cinta, jauh lebih seperti membicarakan kata dari surga. Dijatuhkan bersama adam dan hawa, diturubkan sebagai pengganti buah khuldi.
Membicarakan cinta, tak ubahnya menyematkan tragedy dan kebebasan pada jiwa yang rapuh. Membicarakan cinta bisa jadi membicarakan sesuatu yang belum pernah ada!!
Begitulah, membicarakan cinta kemudian terkait dengan bagaimana cara kita mengartikannya.
Membicarakan cinta sama saja membicarakan tentang kematian. Diantara cinta dan kematian itulah berlangsung dialektika-dialektika kesedihan dan metafora-metafora airmata. Dan diatasnya kehidupan diberi nama, diberi tanda, dan diberi kisah.
Membicarakan cinta maka sama saja menelusuri belukar kisah, kisah-kisah peradaban yang terputus-putus dalam sebuah tali rajutan tua yang tidak pernah berhenti diberi kata dan warna. Meski dalam banyak aspek, cinta selalu menitipkan sejarah dan warna, dan pada banyak sisi, menyisipkan kata-kata yang lebih muda dihayati daripada dijelaskan.
Membicarakan cinta, selalu sama saja menjelaskan luka dan derita. Luka dan kisah yang membuntuti seperti kenangan yang selalu kembali disetiap musim atau pada ruang-ruang yang terlanjur diberi tanda dengan cinta.
Membicarakan cinta, tak berbeda dengan menyanyikan lagu kesepian dari irama yang paling senyap.
Membicarakan cinta, tidak bukan dari menerjemahkan teka teki yang penuh dengan defenisi yang ambisius, penuh dendam dan penuh ketidakpercayaan. Tetapi sekaligus diyakini, dikasihi, dan terikhlaskan.
Membicarakan cinta, tak lebih bertutur dengan puisi, berkisah dalam prosa, dan membahasakan filsafat dan novel-novel kehidupan. Sosiologi dan psikologi yang ragu-ragu.
Membicarakan cinta, jauh lebih seperti membicarakan kata dari surga. Dijatuhkan bersama adam dan hawa, diturubkan sebagai pengganti buah khuldi.
Membicarakan cinta, tak ubahnya menyematkan tragedy dan kebebasan pada jiwa yang rapuh. Membicarakan cinta bisa jadi membicarakan sesuatu yang belum pernah ada!!
Begitulah, membicarakan cinta kemudian terkait dengan bagaimana cara kita mengartikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar