Dalam hal ini ada suatu tambahan sekelumit tentang sebuah pendekatan baru dalam melihat, mengukur, dan meramalkan kesuksesan seseorang. Pendekatan teoritis ini disebut adversity quotient (AQ) yang dikembangkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz. Ia beranggapan bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan itu tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan orang. Stoltz mengelompokkan individu menjadi tiga: quitter, camper, dan climber.
Pengunaan istilah ini memang berdasarkan pada sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak Everest. Ia melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa cukup puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan menaklukan puncak tersebut. Itulah kemudian dia mengistilahkan orang yang berhenti di tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas berada pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih kesuksesan ia sebut sebagai climber.
Teori ini sebenarnya tetap melihat pada motivasi individu. Mereka yang berjiwa quitter cenderung akan mati di tengah jalan ketika pesaingnya terus berlari tanpa henti. Sementara mereka yang berjiwa camper merasa cukup puas berada atau telah mencapai sebuah target tertentu, meskipun tujuan yang hendak dicapai masih panjang. Dan mereka yang berjiwa climber akan terus pantang mundur menghadapi hambatan yang ada di hadapannya. Ia anggap itu sebagai sebuah tantangan dan peluang untuk meraih hal yang lebih tinggi yang belum diraih orang lain.
Quitter
Menolak untuk mendaki lebih tinggi lagi
Gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan “tidak lengkap”
Bekerja sekedar cukup untuk hidup
Cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesunguhnya
Jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati
Dalam menghadapi perubahan mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan manyabot perubahan
Terampil menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi, seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol”, dsb.
Kemampuannya kecil atau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, kontribusinya sangat kecil
Camper
Mereka mau untuk mendaki, meskipun akan “berhenti” di pos tertentu, dan merasa cukup sampai disitu.
Mereka merasa cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satis-ficer)
Masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat, dan beberapa usaha
Mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan, dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya.
Menahan diri terhadap perubahan, meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada
Mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis, misalnya, “Ini cukup bagus,” atau “Kita cukuplah sampai sini saja”
Prestasi mereka tidak tinggi, dan kontribusinya tidak besar juga
Meskipun telah melalui berbagai rintangan, namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka “berkemah” di situ
Climber
Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan
Hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang melalui “langkah-langkah kecil” yang sedang dilewatinya
Menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi, dan berjuang mendapatkan yang terbaik dari hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu terwujud
Tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik risiko menyakitkan yang diimbulkan karena bersedia menerima kritik
Meyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong perubahan tersebut ke arah yang positif
Bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang apa yang bisa dikerjakan dan cara mengerjakannya; mereka berbicara tentang tindakan, dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan
Memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya
Mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup
Diadaptasi dari Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.
Gambaran di atas, secara kualitatif, bisa dijadikan sebuah bentuk komparasi terhadap teori motivasi berprestasi McClelland. Sebenarnya teori McClelland ini sudah jarang digunakan seiring dengan munculnya temuan-temuan dan inovasi-inovasi baru dalam ilmu pengetahuan. Teori motivasi berprestasi sendiri booming sekitar tahun 80-an dan medio 90-an di Indonesia. Setelah itu teori ini kemudian jarang digunakan dalam pelatihan-pelatihan. Teori ini memang cenderung individualistik, sementara untuk pekerjaan yang dibutuhkan kerja sama tim diperlukan formula lain. Maka muncullah team building yang biasanya dalam bentuk outdoor atau outbond training.
i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar